Taqlid

Oleh : Ust Ali Ash Shofie
Bab Taqlid
1. Definisi
– Secara bahasa taqlid berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain, taqlid berasal dari akar kata: qallada – yuqallidu – taqliydan.
– Secara bahasa taqlid berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain, taqlid berasal dari akar kata: qallada – yuqallidu – taqliydan.
– Secara istilah fiqh, taqlid berarti mengerjakan suatu aktifitas (amal) dengan bersandarkan kepada fatwa seorang mujtahid (mujtahid adalah: Pribadi yang telah memiliki kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran danvHaditst atau sumber syariat lainnya)
2. Dalil diwajibkannya taqlid:
a. Dalil ‘aqli:
Hukum-hukum Allah SWT baik yang harus dikerjakan atau yang harus ditinggalkan bersumber dari Al Quran dan Hadits.
a. Dalil ‘aqli:
Hukum-hukum Allah SWT baik yang harus dikerjakan atau yang harus ditinggalkan bersumber dari Al Quran dan Hadits.
Ada dua kesulitan bagi kita yg awam untuk dapat menyimpulkan langsung hukum dari dua sumber tersebut.
Kesulitan pertama:
kita tak dapat memastikan bahwa dalil yang kita gunakan memang betul-betul dari Allah SWT, atau hadits Nabi atau para Imam as.
kita tak dapat memastikan bahwa dalil yang kita gunakan memang betul-betul dari Allah SWT, atau hadits Nabi atau para Imam as.
Kesulitan kedua:
kita tak dapat memastikan bahwa maksud yg kita pahami dari al-Quran dan Hadits itu adalah yg dimaksudkan Allah, Nabi atau para Imam.
Misalnya kata عين dalam bahasa arab memiliki arti mata,sumber atau benda, dari kata عين ini kita tak tahu arti mana yg dimaksud.
kita tak dapat memastikan bahwa maksud yg kita pahami dari al-Quran dan Hadits itu adalah yg dimaksudkan Allah, Nabi atau para Imam.
Misalnya kata عين dalam bahasa arab memiliki arti mata,sumber atau benda, dari kata عين ini kita tak tahu arti mana yg dimaksud.
Berkaitan dengan yang pertama, walaupun kita tidak perlu ragu lagi dengan keabsahan Al Quran dan merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin baik Sunnah maupun syiah, bahwa al-Quran yang ada di tengah kaum muslimin yang diawali dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Naas adalah al-Quran otentik tanpa adanya penambahan atau pengurangan sedikitpun.
Namun tidak ada jaminan berkenaan keabsahan semua hadits yang dinisbatkan kepada Nabi atau para Imam, bahkan yang ada adalah sebaliknya, yaitu pemberitahuan Rasul Saww, bahwa akan banyak para pemalsu hadits sepeninggal beliau.
Adapun yang kedua, maka tidak ada beda antara al-Quran dan Hadits, karena keduanya memiliki yang muhkam (jelas) dan mutasyabah (samar-samar).
Terkadang satu ayat/ hadits memperjelas makna ayat / hadits yang lainnya, terkadang mengkhususkan, mengeneralkan dan lain sebagainya.
Untuk dapat mengatasi dua kesulitan di atas maka diperlukan ilmu-ilmu alat yang harus dikuasai (tidak hanya sekedar dipelajari) diantaranya:
• Bahasa arab dan tata bahasanya (nahwu dan sharf)
• Ilmu Logika (Mantiq)
• Ilmu sastra Arab (Balaghah, Ma’aniy, Badiy’ dan Bayaan)
• Tafsir dan Ulumul Qur an
• Fiqih baik dari ulama Syiah atau Ahlussunnah sebagai perbandingan
• Ushul Fiqh
• Ilmu Hadits dan hal-hal yang berhubungan dengannya (Mushtahlahul hadits, Rijaal dan Diraayah)
• Ilmu Logika (Mantiq)
• Ilmu sastra Arab (Balaghah, Ma’aniy, Badiy’ dan Bayaan)
• Tafsir dan Ulumul Qur an
• Fiqih baik dari ulama Syiah atau Ahlussunnah sebagai perbandingan
• Ushul Fiqh
• Ilmu Hadits dan hal-hal yang berhubungan dengannya (Mushtahlahul hadits, Rijaal dan Diraayah)
Bahkan Syahid Muthahhari menyebutkan bahwa minimalnya ada 13 cabang ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid, bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan filsafat, ilmu politik dan sosial sebagai salah satu cabang ilmu yang harus dikuasai.
Memperhatikan hal di atas maka setiap orang yang akan mengamalkan segala aktifitas fiqih (kewajiban dan larangan Allah SWT) dengan hasil ijtihadnya sendiri, harus menunggu dulu sampai menguasai ilmu-ilmu di atas yang memakan waktu kurang lebih 15- 20 bahkan 40 tahun, sementara Allah SWT telah menuntut kita untuk segera mengamalkan perintah atau laranganNya di saat kita sudah mencapai usia baligh (9 – 15 tahun)
Dalil aqli yang lain adalah:
Tidak mungkin Allah menuntut semua orang yg telah mencapai usia baligh untuk menjadi mujtahid, karena pada usia seperti itu hampir sangat mustahil seseorang menguasai semua bidang ilmu tersebut. Dan itu adalah sebuah beban yg tidak mungkin dibebankan Allah kepada manusia, karena Allah adalah Maha Adil
b. Sirah ‘Uqalaa’
Artinya kebiasaan/tradisi yg sudah lama dilakukan orang yang berakal sehat untuk menyerahkan segala sesuatu kepada ahlinya, oleh karena itu kita tidak pernah menuntut semua orang untuk menjadi dokter sehingga dapat menyembuhkan dirinya sendiri ketika sakit, atau menuntut semua orang untuk menjadi insinyur bangunan, sehingga harus membangun sendiri rumah yang akan dia tempati.
Artinya kebiasaan/tradisi yg sudah lama dilakukan orang yang berakal sehat untuk menyerahkan segala sesuatu kepada ahlinya, oleh karena itu kita tidak pernah menuntut semua orang untuk menjadi dokter sehingga dapat menyembuhkan dirinya sendiri ketika sakit, atau menuntut semua orang untuk menjadi insinyur bangunan, sehingga harus membangun sendiri rumah yang akan dia tempati.
Yg biasanya dilakukan adalah bahwa setiap orang akan datang ke dokter jika sakit untuk diobati, akan datang ke insinyur bangunan untuk membuat sketsa rumahnya, akan meminta bantuan tukang bangunan untuk membangun rumahnya, dan begitu seterusnya, termasuk akan merujuk kepada ulama yang memenuhi syarat (mujtahid) untuk menyelesaikan problem keagamaan yang dihadapinya.
c. Dalil Naqli (Al Quran dan Hadits)
• Firman Allah SWT dalam Surah Annahl 43
• Firman Allah SWT dalam Surah Annahl 43
فَاسْألَُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْن
Dan tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak tahu
Dan tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak tahu
• Firman Allah SWT dalam surah Attaubah 122
فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Sekiranya tidak pergi dari setiap kelompok (golongan) dari mereka untuk berperang namun memperdalam ilmu agama sehingga mereka dapat memberi peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali kepadanya, barangkali kaumnya itu dapat menjaga diri (dengan mendengarkan dan mengikuti apa yang mereka sampaikan).
• Hadits dari Imam Mahdi af.
مَنْ كَانَ مِنَ الْفُقَهَاءِ صَائِنًا لِنَفْسِهِ حَافِظًا لِدِيْنِهِ مُخَالِفًا لِهَوَاهُ مُطِيْعًا ِلأَمْرِ مَوْلاَهُ فَلِلْعَوَامِ أَنْ يُقَلِّدُوْهُ
Jika ada diantara para faqih (pakar ilmu fiqih) yang menjaga dirinya dan agamanya, melawan keinginan hawa nafsunya, taat dan patuh pada perintah Tuannya (Tuhannya) maka orang-orang awam hendaklah bertaqlid padanya.
Atau dalam hadits lain Imam Mahdi berkata:
و اما ابحوادث الواقعة فارجعوا الى رواة احادثنا
Adapun (jika kalian menghadapi masalah tentang hukum yg berkaitan dengan) kejadian-kejadian (baru) yg terjadi, maka rujuk lah para perawi hadits-hadits kami.
3. Syarat-syarat seorang mujtahid yang boleh diikuti (marja’ taqlid)
a. Laki-laki.
b. Baligh
c. Berakal sehat
d. Pengikut madzhab Syiah Imamiyah
e. Anak halal
f. Tidak rakus terhadap dunia
g. A’lam (lebih pandai) dari yang lain
h. Dalam keadaan hidup, bagi pemula yg baru mau bertaqlid kepadanya.
b. Baligh
c. Berakal sehat
d. Pengikut madzhab Syiah Imamiyah
e. Anak halal
f. Tidak rakus terhadap dunia
g. A’lam (lebih pandai) dari yang lain
h. Dalam keadaan hidup, bagi pemula yg baru mau bertaqlid kepadanya.
Adapun bagi yang telah bertaqlid kepada seorang mijtahid yg telah meninggal dunia lalu ingin tetap bertaklid kepadanya maka diperbolehkan nammu dengan syarat telah mendapatkan izin dari mujtahid yang hidup.
i. Adil, yaitu memiliki suatu karakter yang mendarah daging sehingga dia dengan mudah meninggalkan yang haram dan melaksanakan yang wajib.
4. Taqlid hanya diperbolehkan pada masalah yang berkenaan dengan cabang agama (furu’ud diun) yang masih diperselisihkan.
Oleh karena itu tidak boleh bertaqlid dalam masalah pokok agama (Ushulud Diyn), seperti keyakinan tentang keberadan Allah, kenabian, imamah dan hari akhir.
Atau hal-hal yang jelas dan disepakati dalam agama (Dharuriyyatud Diyn) seperti kewajiban sholat, puasa, haji dll.
5. Selain menjadi mujtahid dan muqallid (orang yang bertaqlid) seseorang bisa menjadi muhtath, artinya dia tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad, namun dia tidak bertaqlid pada seorang mujtahid tertentu, akan tetapi dia mampu membanding-bandingkan diantara fatwa para marja’, lalu melaksanaan yang paling selamat dan hati-hati.
6. Ada empat macam pandangan seorang marja’:
A. Fatwa, yaitu suatu keputusan/ ketentuan tentang suatu masalah yang disampaikan oleh seorang marja’ secara umum.
Fatwa wajib diikuti oleh para pengikutnya (muqallidnya), misalnya:
• Di hari keraguan (hari syak 30 Sya’ban) tidak boleh berpuasa dengan niat puasa Ramadhan.
• Di hari keraguan (hari syak 30 Sya’ban) tidak boleh berpuasa dengan niat puasa Ramadhan.
B. Hukum, yaitu ketentuan/ keputusan yang sekaligus menunjuk obyek penerapannya yang dikeluarkan oleh Wali Faqih. hukum berlainan degan fatwa, karena ia wajib ditaati oleh seluruh mukallaf (orang yg telah mencapai usia baligh) baik ia bertaqlid kepadanya atau tidak, seperti:
• Salman Rusydi murtad wajib dibunuh.
• Salman Rusydi murtad wajib dibunuh.
C. Ahwath Wajib (Ihtiyath wajib), artinya suatu masalah dimana seorang
marja’ tidak memiliki fatwa yg jelas tentang haram atau wajib, atau …,
Namun dia bersikap hati-hati dengan mengatakan misalnya *ihtiyath wajib* meninggalkannya atau ihtiyath wajib membacanya tiga kali.
marja’ tidak memiliki fatwa yg jelas tentang haram atau wajib, atau …,
Namun dia bersikap hati-hati dengan mengatakan misalnya *ihtiyath wajib* meninggalkannya atau ihtiyath wajib membacanya tiga kali.
Pada kondisi seperti itu maka si muqallid yang mengikutinya wajib melakukannya atau pindah kepada fatwa marja’ lain yang berada di bawahnya dari segi
Keilmuan yang berbeda pandangan dengannya.
Keilmuan yang berbeda pandangan dengannya.
D. Ahwath mustahab (Ihtiyath Istihbabiy), artinya sebuah keputusan yang *sebaiknya* dilakukan oleh seorang mukallaf
7. Seorang mukallaf dapat menentukan,bahwa si A adalah mujtahid yang memenuhi syarat sehingga ia menjadikannya marja’ dan bertaqlid padanya dengan beberapa cara berikut:
a. Menguji sendiri dengan melihat kehidupan kesehariannya dan mengumpulkan data tentang marja tersebut.
b. Mendapatkan persaksian dari dua orang adil yang ahli dalam bidang fiqih.
c. Sudah tersebar secara lias di tengah masyarakat tentang kemarja’an seseorang, sehingga hal itu menimbulkan keyakinan.
8. Seorang mukallaf dapat mengetahui pandangan marja’nya dengan salah satu cara berikut:
a. Merujuk langsung buku/ kitab kumpulan fatwanya (dengan syarat diyakini tidak akan salah)
b. Mendengar langsung dari sang marja’
c. Mendengar dari orang yang dapat dipercaya (tsiqah)
9. Seorang mukallaf yang berpindah taqlid dari Sunni ke Syiah ataupun dari seorang marja’ ke marja’ lain jika terdapat perbedaan antara fatwa yang dulu dengan yang sekarang, maka seluruh amal yang dia lakukan pada saat yg lalu seseuai dengan fatwa marja’ yang dulu diikutinya dihukumi sah. Namun untuk selanjutnya dia harus menyesuaikan dengan marja’ yang diikutinya sekarang.
10. Jika seorang mukallaf melakukan ibadahnya tanpa taqlid, maka pada saat dia telah mengetahui hukum taqlid harus disesuaikan dengan marja’ taqlid yang diikutinya saat ini atau marja’ taqlid yang harus dia ikuti saat itu, jika sesuai maka dihukumi sah, jika tidak maka dia wajib mengulangi (qadho’).
Wassalam
0 Response
Posting Komentar